Susi Salah Jalan, Pengembang Bisa Mengamuk, Ahok Bisa Kena Sasaran
Penulis : Ricky Vinando / Kompasianer
Keputusan Komisi IV DPR-RI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti yang telah sepakat untuk menghentikan proyek reklamasi Teluk Jakarta adalah sesuatu keputusan yang bertentangan dengan dasar hukum yang memperbolehkan reklamasi Teluk Jakarta dilakukan. Penghentian izin reklamasi Teluk Jakarta tidak bisa dilakukan secara sembarangan, terlebih lagi izin reklamasi Teluk Jakarta sudah diterbitkan oleh Ahok.

Seharusnya Komisi IV DPR-RI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak gegabah mengambil sebuah kesepakatan karena sepanjang izin sudah diterbitkan dan sepanjang prosesnya tidak melanggar hukum, maka keputusan menghentikan reklamasi Teluk Jakarta tidak bisa dilakukan secara sewenang-wenang. Merujuk pada pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 52/1995 , jelas ‘’ Wewenang dan tanggung jawab reklamasi Pantura ada pada Gubernur Jakarta’’.
Komisi IV DPR-RI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan dianggap tidak taat hukum karena hingga saat ini dasar hukum untuk dilakukannya reklamasi Teluk Jakarta masih berlaku sepanjang belum ada pencabutan dari Presiden. Keputusan Presiden No 52/1995 tersebut masih berlaku hingga saat ini dan menjadi tidak berlaku lagi apabila sudah dilakukan pencabutan dengan cara melalui penerbitan Peraturan Presiden baru dengan bunyi:
Dengan terbitnya Peraturan Presiden No... Tahun... Keputusan Presiden No 52/1995 dinyatakan tidak berlaku lagi. Itu artinya keputusan Komisi IV DPR-RI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah tidak tepat dan harus dikaji ulang.
Jika ada yang berpandangan bahwa Keputusan Presiden No 52/1995 yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto saat itu adalah bertentangan dengan UU No 27/2007 maka harus dibatalkan reklamasi tersebut, menjadi alasan harus dibatalkan karena rekalamsi merusak lingkungan serta ekosistem laut. Maka jawabannya bukan begitu.
Tetapi jawaban secara hukumnya adalah bahwa sampai saat ini hanya ada satu landasan hukum yang mengatur tentang reklamasi Teluk Jakarta dan masih berlaku sampai hari ini. Itu artinya dengan dalih apapun, menggunakan UU maupun PERMEN-KP, Alasan tersebut tetap tidak bisa diterima secara hukum karena jika ingin membatalkan proyek reklamasi tidak bisa dilakukan melalui kesepakatan melainkan harus melalui langkah hukum yakni mencabut Keputusan Presiden No 52/1995. Termasuk pengentian pembahasan Reperda oleh DPRD DKI juga perlu dipertimbangkan lagi karena dampak hukumnya akan lebih besar lagi.
Lalu kemudian Keputusan Presiden No 52/1998 tersebut dipermasalahkan lantaran sudah tidak lagi sesuai dengan hierarki perundang-undangan khususnya merujuk pada UU No 12/2011. Dimana didalam pasal 7 yang tercantum adalah Peraturan Presiden bukan Keputusan Presiden. Dan secara hukum peraturan dan keputusan adalah dua hal yang berbeda sehingga jangan ditarik kesana-kemari. Jika dikaitkan dengan kasus reklamasi Teluk Jakarta. Keputusan adalah sesuatu yang sudah khusus yang sudah diputuskan oleh Presiden, Dalam hal ini Soeharto, bahwasannya reklamasi Teluk Jakarta adalah harus dilakukan dan dilakukannya reklamasi Teluk Jakarta sudah tertuang dalam Keputusan Presiden No 52/1995 dan itu bersifat khusus.
Gugatan Ganti Kerugian
Selain itu kesepakatan sepihak yang dibuat oleh Komisi IV DPR-RI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah bersepakat menghentikan reklamasi juga akan berdampak terhadap kerugian yang akan ditanggung oleh Pemerintah/negara. Karena dengan kesepakatan tersebut para pengembang yang menguruk Teluk Jakarta akan memikul kerugian yang sangat besar dan ini secara hukum bisa berujung pada gugutan perdata, dalam hal ini gugatan ganti kerugian yang bisa dilayangkan oleh pihak pengembang kepada Pemerintah/negara .
Gugatan tersebut dilayangkan karena dengan kesepakatan menghentikan reklamasi tersebut tidak beralasan secara hukum karena reklamasi masih bisa terus berjalan namun tidak boleh ada penjualan terhadap bangunan. Dasar hukumnya adalah Keputusan Presiden Nomor 52/1995. Secara perdata, Apabila proyek reklamasi Teluk Jakarta dihentikan maka akan menimbulkan dua kerugian bagi para pengembang, yakni kerugian materil dan imateril dan ini berbahaya bagi negara karena rawan gugatan dari pengembang yang tidak bisa melaksanakan izinnya. Karena gugatan gangti kerugian dalam jumlah besar bisa dilayangkan oleh para pengembang.
Kerugian materil disini adalah kerugian yang nyata-nyata diderita oleh para pengembang yang tidak bisa lagi menguruk Teluk Jakarta akibat munculnya kesepakatan untuk menghentikan reklamasi Teluk Jakarta. Kerugian imateril disini adalah bahwa para pengembang mengalami kerugian yang sangat besar karena tidak bisa menerima keuntungan dari pengurukan Teluk Jakarta dikemudian hari setalah proses pengurukan selesai dilakukan. Salah satu kerugian dalam perdata dapat bersumber dari perbuatan melawan hukum yakni merujuk pada pasal 1365 KUH Perdata. Bunyi pasal 1365 KUH Perdata: ‘’ Tiap perbuatan melanggara hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian itu.
Tentu perbuatan melawan hukum yang dimaksud disini adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Komisi IV DPR-RI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Pemerintah/negara) karena sepakat menghentikan reklamasi Teluk Jakarta tanpa memikirkan dampak besarnya terhadap negara yang akan dibebankan ganti rugi akibat para pengembang yang tidak bisa meneruskan lagi menguruk Teluk Jakarta. Dan secara perdata kerugian yang ditanggung/dipikul oleh para pengembang adalah kerugian tidak langsung karena sudah mendapat izin tetapi tidak bisa melakukan pengurukan akibat keputusan sepihak yang menghentikan reklamasi Teluk Jakarta.
Dan secara perdata pula, gugatan ganti kerugian dalam ini perbuatan melawan hukum haruslah memenuhi syarat-syarat. Ada 4 syarat yang harus terpenuhi.
Pertama. Perbuatan tersebut melawan hukum. Jelas kesepakatan menghentikan reklamasi Teluk Jakarta oleh Komisi IV DPR-RI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah perbuatan melawan hukum karena sampai hari ini dasar hukum yang mengatur reklamasi Teluk Jakarta masih berlaku.
Kedua. Harus ada kesalahan pada pelaku. Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang terang-terangan yang dibuat Komisi IV DPR-RI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Ketiga. Harus ada kerugian. Kerugian nyata-nyata akan ditanggung oleh para pengembang yang pengurukan Teluk Jakarta menjadi terhenti lantaran kesepakatan sepihak yang dibuat Komisi IV DPR-RI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Keempat. Harus ada hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian. Hubungannya sangat nampak dan bisa dirasakan oleh para pengembang karena pengembang sudah mendapatkan izin menguruk tetapi tidak bisa menguruk lantaran terhalang kesepakatan Komisi IV DPR-RI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah memutuskan menghentikan reklamasi untuk sementara waktu sampai terbentuknya UU baru dan akibat kesepakatan itu Ahok bisa karena sasaran karena dianggap menimbulkan kerugian yang besar bagi pengembang.
0 Komentar