Saat GMT, Ini yang Diyakini Masyarakat Dayak ~ BeritaSeo

ilustrasi


MENYAMBUT fenomena alam Gerhana Matahari Total (GMT) yang diyakini terjadi setiap 375 tahun sekali, ada beragam cara dan keyakinan yang dilakukan masyarakat saat fenomena tersebut terjadi.

Salah satunya masyarakat Suku Dayak Ngaju di Kalteng, yang meyakini saat terjadinya GMT, maka di saat itu pula matahari sedang ditelan Bulan atau Taluh (Makhluk) atau disebut Rahu, begitu pula sebaliknya ketika terjadi Gerhana Bulan.

Ada beberapa cerita dan ritual unik yang berkembang berdasarkan kisah para orang tua terdahulu, seperti yang dicerikatakan oleh salah seorang Tokoh Masyarakat Suku Dayak Ngaju, yang juga sebagai Ketua Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan Palangkaraya Parada L KDR.

Dikisahkannya, pada masyarakat Dayak yang sering dilakukan ritual adalah Gerhana Bulan. Dalam keyakinan suku Dayak Ngaju, khususnya masyarakat Hindu Kaharingan di Kalteng ada suatu cerita. Untuk gerhana bulan, ada cerita tentang Tatu Asun Bulan (salah satu leluhur suku Dayak Ngaju) dari pertama dia dikandung oleh ibunya sampai pada saat dia dilahirkan, ada yang namanya Puput Harung Kiang (alat untuk menempa pisau).

Puput Harung Kiang ini, kalau Tatu Asun Bulan muput (memompa alat kompa untuk menempa pisau) dengan kuat, maka terjadilah bulan purnama.

Namun jika dia lemah dalam muput, maka bulan agak redup, dan kalau dia berhenti muput, itulah Orang Dayak Ngaju menyebut Rahu Nawan Bulan (makhluk menelan bulan). Namun demikian dia mengakui, cerita dan sebutan serupa juga berkembang di suku Dayak lainnya di Kalteng, tapi intinya hampir sama.

“Sedangkan untuk Gerhana Matahari yang jarang terjadi, bagi orang Dayak matahari menyebutnya dengan nama Jangkarang Matan Andau. Masyarakat kita, khususnya orang Dayak Ngaju ketika terjadi gerhana matahari akan mengadakan Balian Ba Ampar-ampar yang dipimpin oleh 3 orang Basir (pemuka Adat Dayak Ngaju),” kata Parada ketika ditemui awak MK.

Maksudnya, karena matahari sebagai sumber kehidupan, maka supaya sumber kehidupan itu tidak hilang. Jadi pada saat matahari terlindung oleh bulan, Balian ini dilakukan supaya sumber kehidupan cepat keluar dan memberikan cahayanya kembali.

Setelah dilakukan Balian, lantas masyarakat Dayak akan Menukiu (teriakan khas suku Dayak) yang berbeda dengan Malahap (teriakan suku Dayak ketika ada saudara yang meninggal dunia). Jadi teriakan itu, uuuuu...kuiii!!! untuk memohon kepada Yang Maha Kuasa agar pintu langit terbuka.

Dalam ritual Balian Ba Ampar-ampar, suku Dayak Ngaju bermohon kepada Sahur Parapah Antang Patahu Ijin Tumbang Kahayan (leluhur Kalteng), supaya melindungi seluruh warga masyarakat. Melindungi itu, supaya masyarakat terhindar dari hal-hal yang tidak baik akibat terjadinya gerhana matahari.

Apalagi dengan fenomena yang terjadi 375 tahun sekali, hal tersebut juga dinilai menjadi peluang bagi masyarakat suku Dayak Ngaju untuk mengingat kembali bagaimana leluhur Dayak dulu melakukan sebuah ritual saat terjadi gerhana matahari.

“Cuma kita, apabila ada sesuatu yang jarang terjadi, kita menjaga kemungkinan itu. Karena fenomen ini, bisa membawa pengaruh baik dan juga bisa membawa pengaruh buruk. Jadi pengaruh yang tidak baik itulah yang kita hilangkan dengan doa-doa kita kepada yang Maha Kuasa,” kisahnya.

Sumber: media kalimantan

Bagikan ke

Related Post:

0 Komentar