Kebiasaan Berhubungan Seks yang Aneh di Zaman Romawi Kuno
Jakarta - Kebiasaan dan perilaku seksual manusia terikat pada ruang dan waktu. Misalnya, jika dikaitkan dengan hubungan kekuasaan antara majikan dan hamba, ketika perbudakan masih menjadi hal yang sangat lumrah. Pada zaman seperti itu, seorang budak dianggap tidak hadir walaupun tubuh mereka berada dekat dengan majikan.
Para pembaca paling tertarik membaca bagaimana relasi kekuasaan kemudian berpengaruh kepada kebiasaan bangsa Romawi Kuno untuk melakukan hubungan seks di hadapan para budak. Seandainya dilakukan pada masa kini, tentu hal ini bisa menghebohkan.
Ada pula pertandingan bola voli pantai dalam Olimpiade 2016 yang menjadi tontonan tentang keberagaman.
Dalam suatu lapangan berukuran kecil, jelas terlihat kekayaan budaya manusia dari berbagai penjuru dunia, yaitu ketika tim putri Jerman mengenakan bikini serba terbuka melawan tim putri Mesir dengan kostum yang serba tertutup.
Kembali kepada relasi kekuasaan menurut ruang dan waktu. Kaum elit penguasa Mesir Kuno memandang dirinya sebagai keturunan para dewa sehingga merasa perlu menjaga 'kemurnian' kaumnya dengan melakukan pernikahan sedarah (incest).
Akibatnya, sejumlah penyakit turunan yang berkaitan dengan bertemunya ragam genetik yang kurang beragam muncul. Ini melemahkan kekuasaan kaum elit Firaun.
Berikut adalah Top 3 Global:
1. Kebiasaan Aneh Romawi Kuno: Berhubungan Seks di Depan Para Budak
Bagi kebanyakan orang di masa kini, hubungan seksual merupakan hal yang bersifat sangat pribadi. Namun pada zaman Romawi kuno berhubungan intim di depan orang lain lazim dilakukan.
Ahli sejarah bernama Mary Beard memaparkan hal tersebut dalam suatu tayangan dokumenter.
Program bertajuk "Pompeii: Life Before Death" yang tayang itu sebenarnya berkutat pada masalah perbudakan zaman kuno.
Dalam pengamatannya, Mary Beard melihat adanya lukisan di Pompeii yang menggambarkan pasangan tengah melakukan hubungan seks di depan seorang budak. Budak tersebut digambarkan sedang melakukan tugas rumah tangga.
Profesor ilmu klasik di Cambridge University itu mengatakan, "Ini adalah contoh jelas bahwa kaum budak dianggap tak ada. Lukisan itu menunjukkan bahwa mereka seakan tidak terlihat."
"Seandainya kita sekarang ini bertanya kepada orang biasa 'Maukah melakukan hubungan seks ketika ada orang lain yang sedang membersihkan kamar?', maka jelaslah perbedaannya dengan zaman itu."
Temuan-temuan baru dimungkinkan dengan menggunakan teknologi maju semisal pemindai CT yang mengungkap keberadaan ruang 'penyimpanan' budak di bawah sebuah rumah.
Kata Beard dalam wawancara, "Kita bisa melihat daerah yang sekarang dengan 99 persen keyakinan diketahui sebagai ruang-ruang tempat tinggal para budak."
"Ruangnya gelap, tanpa jendela, berbentuk lorong panjang dengan sel-sel kecil tempat para budak tinggal, bekerja, tidur. Mungkin ada 3, 4, atau 5 orang di dalam satu ruangan."
Analisa Ilmiah Pada Jasad
Ada juga informasi lebih terinci tentang cetakan jasad-jasad orang yang tewas dalam bencana letusan vulkanik Gunung Vesuvius yang menghancurkan kota tersebut.
Replika 3D kota juga dipertontonkan untuk pertama kalinya, demikian juga hasil pemindaian sinar-X terhadap tulang belulang yang selama berabad lamanya telah terawetkan.
Untuk pertama kalinya, tim ini juga melakukan analisa DNA jasad-jasad korban bencana.
"Mungkin semua orang mengetahui caranya warga Pompeii meninggal dunia…ini adalah kesempatan sekali seumur hidup untuk mengungkap kehidupan mereka sebelum meninggal," kata Beard.
Ternyata, bukan hanya orang tua renta dan cacat yang tidak melarikan diri dari bencana, tapi seluruh lapisan masyarakat.
Pemindaian menggunakan CT menunjukkan bahwa "di sini kami tidak menemukan seorang lansia yang malang, ini adalah orang-orang muda biasa yang tetap tinggal di kota."
Beard melanjutkan, "Mereka memilih untuk tidak kehilangan tempat usaha atau rumah mereka…begitulah yang dilakukan orang ketika menghadapi bencana."
Tanggal letusan diduga 24 Agustus 79 M, hanya sehari setelah perayaan Vulcanalia, festival dewa api Romawi. Penyebab utama kematian adalah awan panas dengan suhu mencapai 482 derajat Celcius.
Hujan puing berjatuhan di jalan-jalan hingga kota itu terbenam seluruhnya. Pompeii tetap terkubur selama kira-kira 1.700 tahun hingga ekskavasi dimulai pada 1748.
2. Kostum 'Kontras' Voli Pantai Mesir Vs Jerman di Olimpiade Rio
Permainan bola voli pantai adalah olahraga yang cepat dan gesit yang dimainkan di bawah sinar matahari. Kostum para pemain biasanya bikini untuk perempuan dan celana pendek ketat untuk laki-laki.
Namun, foto-foto berikut ini memperlihatkan budaya kontras di antara para pemain voli pantai di Olimpiade Rio. Mereka adalah atlet perempuan dari Mesir yang menggunakan lengan panjang dan legging di pasir.
Nada Meawad dan Goa Elghosbashy mengenakan kostum tertutup. Elghosbashy bahkan menggunakan jilbab-- sangat kontras dengan lawannya dari Jerman, Laura Ludwig dan Kira Walkenhorst yang menggunakan baju 'tradisional' voli pantai: bikini two pieces.
Kendati International Volleyball Federation (FIVB) memiliki standar kostum, namun mereka mengendurkan aturan saat Olimpiade London 2012 di mana pemain diperbolehkan menggunakan baju tertutup dan legging.
Juru bicara FIVB, Richard Baker mengatakan permainan yang dilakukan pada Minggu 7 Agustus 2016 malam itu memperlihatkan keterbukaan kebudayaan dalam Olimpiade Rio kali ini.
Baker mengatakan Olimpiade 2016 kali ini diikuti oleh 169 negara, jauh berbeda dengan saat di London yang hanya dihadiri 143 negara.
Pertandingan voli pantai kali itu dimenangkan oleh Ludwig dan Walkenhorst.
Olimpiade 2016 ini adalah even luar negari pertama bagi Mesir di luar benua Afrika -- di mana Nada Meawad dan Goa Elghosbashy menang pada April lalu.
Ludwig dan Walkenhorst menang 2-0 dalam pertandingan selama 40 menit itu. Namun, mereka harus tampil dalam beberapa pertandingan sebelum berhak mengklaim gelar juara.
Meski kalah, Elghosbashy mengaku bahagia bisa tampil mewakili negerinya di Olimpiade 2016. "Aku telah memakai jilbab selama 10 tahun. Dan pakaian ini tidak menghalangiku melakukan apa yang kusukai, termasuk memainkan olahraga voli pantai," kata dia.
"Aku bangga melihat bendera Mesir berkibar di antara bendera-bendera negara lain."
3. Misteri Perkawinan Sedarah Kaum Ningrat Mesir Kuno
Di masa kini, praktik kawin sedarah (incest) dipandang sebagai sesuatu yang tidak pantas. Namun kalangan elite pada masa lalu melakukan hal ini demi menjaga 'kemurnian' keturunan.
Menurut catatan sejarah, kalangan elite penguasa Mesir Kuno melakukan praktik ini. Mereka percaya bahwa dirinya adalah keturunan para dewa.
Dugaan adanya praktik ini sudah lama beredar, tapi pembuktian menggunakan DNA tidak semudah yang diduga karena kesulitan mendapatkan sampel DNA yang akan diuji.
Para peneliti akhirnya berhasil mendapat bukti langsung berdasarkan pengukuran tinggi badan pada 259 mumi.
Pengukuran tersebut kemudian membandingkan rata-rata tinggi badan beberapa Firaun dengan rata-rata tinggi badan populasi Mesir pada masa itu.
Temuan penelitian menyebutkan bahwa variasi tinggi kalangan Firaun lebih sedikit dibandingkan dengan variasi tinggi badan kalangan rakyat kebanyakan sehingga ditengarai adanya kawin sedarah di kalangan ningrat.
Profesor Frank Rühlidari University of Zurich menjelaskan, "Inilah pengumpulan data tinggi badan terlengkap bangsa Mesir Kuno dan melingkupi masa-masa penting dalam sejarah mereka."
Rata-rata tinggi badan pria adalah 161 sentimeter pada jaman Kerajaan Baru dari 1550 hingga 1070 SM. Antara 2925 dan 2575 SM, rata-rata tinggi adalah 169,6 sentimeter. Pada seluruh rentang waktu, rata-rata tingginya adalah 165,7 sentimeter.
Kaum wanita memiliki rata-rata tinggi 155,6 sentimeter dari masa 712 hingga 332 SM dan rata-rata tinggi 159,5 sentimeter di masa Dinasti Awal. Pada seluruh rentang waktu, rata-rata tingginya adalah 157,8 sentimeter.
Sementara itu, tinggi rata-rata raja adalah 166 cm dan kaum wanita kerajaan memiliki rata-rata tinggi badan 156,7 cm. Tidak banyak variasi.
Firaun Amenhotep I memiliki tinggi 165 cm dan merupakan contoh paling jelas perkawinan sedarah. Para ilmuwan menduga ia terlahir dari pernikahan sedarah dalam 3 generasi.
Firaun lain, misalnya Thutmosis III, memiliki derajat incest yang tidak terlalu tinggi karena kakek dan neneknya melakukan incest tapi orangtuanya tidak demikian.
"Penelitian ini menunjukkan sejumlah bukti pernikahan consanguineous (sedarah) melalui cara yang andal tapi tidak invasif," kata Barry Bogin, profesor antropologi biologi di Loughborough University.
Sebelumnya, pengujian DNA pada Firaun Tutankhamun mengungkapkan bahwa ia terlahir dari pernikahan pasangan saudara sekandung.
Tutankhamun dikenal sebagai putra dari Firaun Akhenaten yang murtad karena berusaha melakukan reformasi agama Mesir pada masa kekuasaannya. Namun demikian, identitas ibunya tak diketahui sampai terungkap beberapa tahun lalu.
Praktik Lazim Menjaga 'Kemurnian'
Kenyataan bahwa ibu dan ayah Tutankhamin merupakan saudara sekandung mungkin mengagetkan dalam pandangan masa kini, tapi pernikahan sedarah lazim di kalangan keluarga kerajaan karena para firaun mempercayai bahwa mereka adalah keturunan para dewa.
Dengan demikian, perkawinan seperti itu merupakan cara yang dapat diterima untuk menjaga kemurnian garis keturunan suci tersebut. Ankhesenpaaten, istri Firaun Tutankhamun, adalah saudara tiri dari ayah yang sama. Mereka menikah ketika Tutankhamun berusia 10 tahun.
Namun demikian, penelitian mengungkapkan bahwa kawin sedarah selama beberapa generasi telah berdampak buruk pada Tutankhamun, yang menjadi orang terakhir dalam dinasti tersebut.
Penyakit tulang yang diderita dalam keluarganya lebih berkemungkinan diwariskan jika dua kerabat berderajat sama menikah dan memiliki anak-anak.
Sebelumnya, penelitian DNA menguak, sosok Tutankhamun diduga bergigi kelinci, memiliki posisi kaki yang bengkok ke bawah dan memutar ke dalam (clubfoot), dengan pinggul besar mirip perempuan.
Dan alih-alih gambaran raja muda yang suka balap kereta, Firaun Tut -- begitu julukannya -- mengandalkan tongkat untuk berkeliling selama masa pemerintahannya pada Abad ke-14 Sebelum Masehi. Ia diduga jadi korban perkawinan sedarah.
Sumber: www.beritahangat5.com
0 Komentar