Tiga Toer Bersaudara dan Rasa Cintanya Pada Blora ~ BeritaSeo

Pramoedya Ananta Toer semasa hidupnya ketika sedang membakar sampah di pekarangan rumah. (foto: dokumen pribadi keluarga Toer)
JAKARTA. Tuhan menakdirkanku lahir di sebuah keluarga yang mengalir darah Toer. Dulu, ketika masih tinggal di Bekasi, aku tahu kalau bapakku, Soesilo Toer, sering menulis menggunakan mesin tik. Tapi aku tidak tahu kalau bapak seorang penulis. Aku hanya tahu bapak bekerja di sekolah Perguruan Rakyat, Jakarta. 

Sampai suatu ketika, seorang teman datang ke rumahku di daerah Bintara. Dia menemukan salah satu buku lama berjudul Suka Duka Si Pandir yang ditulis Soesilo Toer. Sejak itulah aku tahu kalau ternyata bapak juga penulis seperti juga kakak sulungnya, Pramoedya Ananta Toer; dan Koesalah Soebagyo Toer, adik ke-lima Pramoedya. Di kemudian hari, kuketahui ternyata Bapak termasuk sastrawan Angkatan '66.

Sekitar pertengahan 2004, kami terpaksa pindah ke Blora, kampung halaman bapak, karena “istana kardus” kami digusur atas nama pembangunan jalan tembus Cakung-Kranji. 

Pindah ke Blora, aku bersekolah di SMPN 5 Blora yang dulunya milik kakekku, Mastoer. Sebagian besar guru tahu tentang latar belakangku. Aku yang sebelumnya seenaknya, sekarang tak boleh macam-macam karena harus menjaga nama keluarga. 

Semenjak aku sekeluarga tinggal di Blora, sering Pakde Pram tetirah ke tanah kelahirannya barang dua, tiga hari. Kalau datang ke Blora, dia tak mau tinggal di hotel. Selalu di rumah kami, rumah masa kecilnya, di salah satu kamar paviliun yang dulunya merupakan dapur keluarga besar Toer. 

Dia pun melakukan pekerjaan seperti halnya ketika di Jakarta atau Bojonggede: membaca, mengeliping koran, dan membakar sampah. Bila ada beberapa kawan atau penggemar yang tahu tentang kedatangannya, mereka datang berkunjung.

Kesukaannya membakar sampah adalah sesuatu yang tak aku mengerti tetapi selalu aku ingat. Pernah suatu kali ada kejadian lucu ketika Pram tetirah di Blora. Bapak baru saja menanam pohon mangga dan memberi pupuk dengan dedaunan kering. Pohon dan pupuk itu malah dibakar Pram. 

Salah seorang anaknya memperingatkan agar tak membakar dedaunan kering dan pohon itu, namun dasarnya orang keras kepala, Pram nekad saja. Pram bahkan berkomentar, “Bakar sampah saja kok, dilarang.”

Kedatangan Pram bersama keluarga ke Blora adalah rezeki tersendiri buatku. Karena sebelum pulang, keluarganya akan memberi salam tempel yang saya terima dengan girang tentunya. 

Namun suatu kali ada hal yang di luar kebiasaan. Sebelum Pakde Pram kembali ke rumahnya di Bojonggede, dia memberikan salam tempel, padahal sebelumnya anak dan istri Pram sudah melakukannya. 

Alhasil, aku pun mendapat dobel dan menganggapnya sebagai rezeki nomplok. Aku sama sekali tak punya firasat buruk tentang kejadian itu. Salam tempel dari Pram itu ternyata terakhir karena beberapa bulan setelahnya terdengar kabar tentang kematiannya. 

Hari itu adalah Minggu, 30 April 2006. Keesokan harinya aku harus ujian nasional kelas tiga SMP. Setelah pengawas masuk dan menaruh berkas ujian, kami berdoa bersama untuk Pram.

Untuk memperingati dan mengenang hari meninggalnya Pram, didirikanlah Perpustakaan PATABA di paviliun yang dulunya digunakan Pram sekeluarga untuk tidur. 

PATABA merupakan akronim dari “Pramoedya Ananta Toer Anak Blora.” Pada awalnya koleksi Perpustakaan PATABA hanya mengandalkan milik Soesilo Toer. Kemudian Pakde Liek juga ikut menyumbangkan buku-bukunya. 

Dengan dibantu promosi kawan-kawan, lambat laun Perpustakaan PATABA semakin dikenal. PATABA bukan sekadar perpustakaan, tapi juga tempat pergerakan, diskusi, bedah buku, belajar, pentas seni, dan penerbitan. Hingga kini, koleksi bukunya tak kurang dari 10 ribu dari berbagai disiplin ilmu.

Perpustakaan PATABA mempunyai lambang seperti simbol omega, dalam bahasa Rusia itu adalah huruf “T”, singkatan dari Toer, yang memiliki tiga kaki untuk melambangkan ketiga pendiri Perpustakaan PATABA; Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Soesilo Toer. 

Tercatat di buku tamu, Perpustakaan PATABA sudah didatangi pengunjung dari empat benua, kecuali Afrika. Karena itulah sekarang akronim PATABA berubah menjadi “Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa.” 

Dari Blora, salah satu kabupaten miskin di Jawa Tengah, sudah lahir tokoh-tokoh yang ikut menyumbang kehidupan Indonesia modern. Tiga bersaudara Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Soesilo Toer yang sudah melepaskan harta, tenaga, waktu, dan masa muda mereka. Didorong besar rasa cinta pada Blora, pada Indonesia. (oleh Benee Santoso keponakan Pramoedya, CNN Indonesia | rs-infoblora) 

Bagikan ke

Related Post:

0 Komentar