Napak Tilas Pram, Bupati Bojonegoro Kunjungi PATABA Blora & Jembatan Kali Lusi ~ BeritaSeo

Dari kanan ke kiri, Josep Osdar wartawan senior Kompas, Pak Soesilo Toer adik kandung Pramoedya, dan Suyoto Bupati Bojonegoro bersama tim saat berfoto di depan PATABA Blora, Minggu (14/2). (foto: teg-infoblora)
BLORA. Kesenangannya terhadap karya kesusastraan Pramoedya Ananta Toer, membuat Bupati Bojonegoro Jawa Timur, Suyoto atau yang lebih akrab dipanggil Kang Yoto memutuskan untuk melakukan perjalanan napak tilas di kota kelahiran sang sastrawan, Blora.

Minggu (14/2) pukul 13.00 WIB rombongan Bupati Bojonegoro Kang Yoto bersama wartawan senior Kompas Josep Osdar dan crew tiba di Alun-alun Blora. Dijemput beberapa wartawan lokal Blora, rombongan orang nomor satu di Bojonegoro ini pun dikawal menuju istana keluarga Pram yang ada di Jl.Sumbawa No.40 Kelurahan Jetis Blora.

Di istana keluarga Pram yang tampak sangat sederhana di pojok tikungan jalan itu, Suyoto langsung ditemui oleh penghuni saat ini yaitu Soesilo Toer adik kandung Pramoedya Ananta Toer bersama putra Soesilo Toer, Mas Beene. Mereka saling berdialog tentang masa kecil kehidupan Pram di Blora.

“Ya beginilah Pak istana peninggalan Bapak yang pernah menjadi saksi bisu masa kecil Mas Pramoedya Ananta Toer. Bentuk rumah masih asli sejak Pram dilahirkan pada 1925. Hanya bangunan sebelah timur ini yang diubah, sebelumnya dapur sekarang jadi perpustakaan PATABA,” jelas Soesilo Toer seorang doktor lulusan tahun 1971 di Moskow Rusia, kepada Suyoto dan Josep Osdar.

Bupati Bojonegoro Suyoto berdialog dengan Soesilo Toer di dalam PATABA, Minggu (14/2). (foto: tio-infoblora)
Perlu diketahui PATABA adalah sebuah singkatan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa. Singkatan itu diberikan untuk menamai perpustakaan kecil di rumah keluarga Pram yang berisi kumpulan karyanya dan buku-buku lainnya. Kata “Anak Semua Bangsa” diberikan pada singkatan PATABA karena karya Pram dapat diterima di banyak negara, bahkan diterjemahkan ke 40 bahasa di dunia.

“Dahulu Pram sekolahnya dimana Pak Soes, di Blora juga?,” tanya Bupati Bojonegoro, Suyoto.

“Pram sejak kecil sekolahnya di Blora, Pak. Ayahnya Pram dahulu seorang guru, sekaligus pemilik sekolah dan pengawas sekolah di Institut Budi Oetomo (setara SD-red). Mas Pram sekolah disitu, kini sekolah itu jadi SMPN 5 Blora,” ucap Soesilo Toer, Minggu (14/2).

Menurutnya setelah keluar dari sekolah milik bapaknya tersebut, Pram melanjutkan pendidikan di sekolah radio, Valk School Surabaya pada tahun 1941. Setelah lulus, ia hijrah ke Jakarta untuk sekolah di Taman Dewasa bertemu Asrul Sani dkk. Bekerja di kantor berita Domei milik Jepang. Disinilah bakat menulis Pram keluar hingga banyak menelurkan karya sastra yang kini digemari dunia.

“Kebanyakan Pram menulis saat dipenjara, karena tulisannya terlalu pedas mengkritik pemerintahan saat itu. Baik di zaman kolonial, orde lama hingga orde baru. Baru tahun 1979 ia dibebaskan dan dinyatakan tidak bersalah oleh pemerintah, namun tetap diperintah untuk wajib lapor,” ujar Soesilo Toer.

Kang Yoto dengan bangga menunjukkan kaos Pram
dari atas Jembatan Kali Lusi, Bangkle Blora. (foto: teg-ib)
Sambil melihat-lihat buku yang ada di PATABA, Bupati Bojonegoro Suyoto kemudian bertanya, “Pram terakhir ke Blora tahun berapa Pak Soes? Sudah lamakah?,”

“Mas Pram terakhir ke Blora pada tahun 2003. Ia tidur di ruangan kecil sebelah timur dapur yang kini jadi PATABA. Ia meninggal di Jakarta pada 30 April 2006,” jawab Soesilo Toer yang juga seorang penulis ini.

Obrolan berlanjut hingga mengenai beberapa karya Pram yang cukup melegenda seperti Bumi Manusia, Cerita dari Blora, dan Perburuan sebuah karya tahun 1950 yang banyak menceritakan pergolakan perjuangan semasa Blora dijadikan daerah pergerakan komunisme. Terutama Kali Lusi yang menjadi jalur perjuangan Pram untuk menghindari kejaran tentara karena dituduh terlibat komunisme.

“Komunisme atau PKI sebenarnya hanya dijadikan kambing hitam oleh pemerintahan saat itu. Sebenarnya ada sebuah sejarah besar dibalik pengkambinghitaman PKI yang tidak banyak diketahui orang,” kata Soesilo Toer.

Mendengar cerita itu, Kang Yoto Bupati Bojonegoro pun tertarik dan meminta Pak Soesilo Toer untuk membuka sejarah. Mengembalikan sejarah yang sebenarnya. Ia berpendapat bahwa sejarah pemberontakan PKI memang sangat kontroversional, sehingga perlu diluruskan.

“Sekarang sudah tidak jamannya ijo-ijo, abang-abang, kuning-kuning. Tetapi semua warga bergabung menjadi satu demi sebuah kesempurnaan bagaikan pelangi. Pak Soes tidak perlu takut dengan stigma negatif tentang PKI. Sudah saatnya sejarah berbicara, dan saya mendorong jenengan untuk membuka itu,” ujar Kang Yoto kepada Soesilo Toer.

Dirinya juga tertarik dengan desertasi Soesilo Toer yang kini tersimpan di Moskow Rusia. “Kalau ada terjemahannya coba dicetak dan diterbitkan Pak Soes. Pasti akan ada banyak hal menarik yang bisa kita semua pelajari,” pintanya.

“Wani piro?,” jawab Soesilo Toer sambil tersenyum penuh gurau.

“Ia Pak, kalau memang saya masih diberikan kesehatan dan umur panjang. Saya usahakan untuk membukukan desertasi saya dalam bahasa Indonesia agar bangsa ini bisa mengenal bagaimana sebenarnya kedudukan Sosialis, Kapitalis dan Komunis,” lanjut Soesilo Toer.

Dalam kunjungannya ini, sebelum berpamitan Kang Yoto dan Josep Osdar membeli satu paket kumpulan buku terbitan keluarga Soesilo Toer yang berisi tentang sejarah kehidupan Pram. Salah satunya berjudul “Pram dalam Belenggu”.

“Waah harusnya dolan kesini itu minimal 2 jam. Sehingga kita bisa ngobrol banyak tentang Pram dan unek-unek saya bisa tersampaikan. Tetapi ya terimakasih sudah mau mampir ke gubug kami ini Pak Bupati. Beberapa hari lalu Pak Wakil Bupati Blora, Mas Arief Rohman juga bertandang kemari dan sempat cerita banyak,” ucap Soesilo Toer.

Usai dari kediaman Pram masa kecil, Kang Yoto, Josep Osdar dan rombongan bertolak ke Jembatan Kali Lusi di Kelurahan Bangkle Blora yang mereka kenal dalam salah satu karya sastra Pramoedya yang berjudul “Perburuan”.

Diatas jembatan penghubung Blora-Cepu ini, Bupati Bojonegoro menyempatkan diri untuk turun dan melihat-lihat kondisi jembatan yang dalam angannya zaman dahulu seperti yang ditulis Pramoedya, banyak rakyat kecil menderita dan bersembunyi di bawah jembatan untuk melanjutkan hidup.

“Jembatan ini saksi bisu, dan masuk sejarah pergolakan yang ditulis Mbah Pramoedya di bukunya yang berjudul Perburuan. Saya kagum dengan keberanian Pramoedya dalam menulis dan mengkritisi pemerintah. Sehingga hal ini yang menarik saya untuk menelusuri jejak Pramoedya di Blora,” bebernya.

Sebagai kenang-kenangan, Kang Yoto dan Josep Osdar memperoleh kaos hitam bergambar Pramoedya Ananta Toer dari sebuah toko kaos khas Blora yang ada di Blok T dan membukanya untuk difoto di atas Jembatan Kali Lusi yang erat kaitannya dengan cerita Pram.

“Kaosnya bagus, ini tokoh inspirasi saya. Semoga kedepan karya-karya Pram selalu membumi di bumi manusia,” pungkasnya.

Sekedar diketahui, Pramoedya Ananta Toer adalah seorang sastrawan besar dunia yang lahir 6 Februari 1925 di Blora. Hampir separuh masa hidupnya dihabiskan dalam kurungan penjara. Selama 3 tahun dipenjara kolonial, 1 tahun di orde lama, dan 14 tahun di orde baru. 21 Desember 1979, Pramoedya Ananta Toer mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S PKI.

Dari tangannya yang dingin, telah lahir lebih dari 50 karya sastra yang diterjemahkan lebih dari 40 bahasa asing. Ia juga dianugerahi berbagai penghargaan internasional seperti The PEN Freedom-to-write Award tahun 1988. Kemudian tahun 2003 mendapatkan penghargaan The Norwegian Authors Union dan banyak lagi gelar dari luar negeri. Ia juga berkali-kali masuk dalam nominasi peraih nobel bidang sastra. (ag-infoblora)

Bagikan ke

Related Post:

0 Komentar